Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus 1949, antara lain memutuskan, sebagai imbalan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, pihak Belanda mendapat bayaran sebesar 4,5 miliar gulden dari pihak Indonesia. Menurut sejarawan Lambert Giebels, sebelumnya Belanda menuntut imbalan sekitar 6,5 miliar gulden. (IPPHOS)
Dalam kaitan memperingati 60 tahun Konferensi Meja Bundar (KMB)—23 Agustus-2 November 1949—dan penyerahan kedaulatan—27 Desember 1949—Radio Nederland Wereldomroep (NRW) mengundang wartawan dari Indonesia yang meliput KMB 60 tahun lalu untuk berbagi pengalaman. Dari sekitar 12 wartawan yang kala itu meliput, tinggal tiga orang yang masih hidup, satu di antaranya Rosihan Anwar. Wartawan senior sekaligus pelaku sejarah itu menuliskan hasil perjalanannya selama sepekan di Nederland bulan Desember lalu di halaman ini dan halaman 35. Redaksi
Action....!
Saya mulai berjalan didampingi Febriyanti Sukmana di Ridderzaal Twede Kamer, parlemen Belanda, Binnenhof Den Haag, 23 Desember 2009 siang. Saya berucap, ”Di sini 60 tahun yang lalu berlangsung upacara pembukaan resmi Konferensi Meja Bundar, Ronde Tafel Conferentie, 23 Agustus 1949 untuk mewujudkan penyerahan kedaulatan (souvereiniteits overdracht) dari Kerajaan Belanda kepada negara federal Republik Indonesia Serikat.”
Seraya kami lewat di depan kursi tempat Ratu Beatrix mengucapkan Troonrede, pidato mahkota, juru kamera Junito Drias melakukan pengambilan gambar. Berkali-kali saya dimintanya mengulang gerak serupa guna memperoleh shots dari sudut jarak jauh hingga dekat, memfokus pada tongkat saya berkepala naga dan kepada jari-jari yang memegangnya.
Karena pengalaman sebagai aktor pemeran pembantu dalam film cerita, mulai dari Darah dan Doa (1950) arahan sutradara Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional, hingga film Tjoet Nja Dien (1985), disutradarai Erros Djarot serta dibintangi Christine Hakim dan Slamet Raharjo—karena terbiasa mendengar perintah sutradara action dan cut—saya selesaikan apa yang harus di-acting-kan. Lama-lama kesal juga dan saya bergumam, ”Gue nih lagi dikerjain.”
Adegan berpindah. Saya duduk diwawancarai oleh Febriyanti dari Radio Hilversum, dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Belanda. Kemudian penyiar Yanti Mualim menyusul dengan wawancara berikut. Dalam ruangan Ridderzaal yang kosong itu, dengan lantai dihampari karpet berwarna jingga, hadir tiga orang yang turut bersama saya dari Jakarta, yaitu sejarawan Dr Rusjdi Hussein, putri bungsu saya, dr Naila Karim, SpM (Ela), dan suaminya, dr Roberth J Pattiselanno (Robby).
”Gawe” NRW
Apa pasal dengan kunjungan ke Negeri Belanda itu?
Radio Nederland Wereldomroep (NRW) punya gawe, yaitu memperingati tepat 60 tahun penyelenggaraan KMB (23 Agustus-2 November 1949) dan peristiwa penyerahan kedaulatan (27 Desember 1949). Maka, dicarinya wartawan-wartawan dari Indonesia yang meliput KMB untuk diundang ke Nederland, lalu bercerita mengenai pengalaman mereka. Ternyata wartawan KMB yang masih hidup adalah diri saya.
Saya coba mengenang dan mudah-mudahan memori ini masih kuat untuk tidak melakukan kesalahan fatal, maklum 60 tahun telah berlalu dan ambang pintu kepikunan sudah ada di depan.
Adapun wartawan yang meliput KMB adalah BM Diah dan istrinya, Herawati (harian Merdeka, Jakarta); Adinegoro dan istri (majalah Mimbar Indonesia, Jakarta); Wonohito (Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta); Sukrisno (Antara, Yogyakarta); Mohammad Said (Waspada, Medan); Kwee Kek Beng (Sin Po, Jakarta); Ir Pohan (majalah Spektra, Jakarta); RM Sutarto (Berita Film, Indonesia); EU Pupella (Ambon); serta Rosihan Anwar dan istrinya, Zuraida (Pedoman, Jakarta).
Teman-teman sejawat tadi telah meninggal dunia. Yang masih hidup tinggal Herawati Diah (92), Rosihan Anwar (87), dan Zuraida R Anwar (86).
Saya terima undangan Radio Hilversum siaran bahasa Indonesia yang disampaikan oleh wartawannya, Jean van de Kok, di kediaman saya, dengan catatan agar saya didampingi oleh Dr Rusjdi Hussein yang semula adalah dokter medicus lulusan Universitas Indonesia dan menjelang masa pensiun mengikuti kuliah sejarah, lalu berhasil meraih gelar S-3 dengan disertasi tentang Perundingan Linggarjati (November 1946).
Putri sulung saya, dr Aida Fathya Darwis (Nonny), bersitekan agar terlebih dahulu saya check-up kepada dr Handoko Gunawan, Sp PP dan DR Idrus Alwi, Sp JP di Rumah Sakit MMC.
Sudah dua tahun saya tidak memeriksakan kesehatan kepada dr Handoko, ahli paru-paru. Dia menyimpulkan, ”Kondisi lumayan, boleh berangkat.”
Lain halnya dengan DR Idrus. Waktu ditensi, ternyata tekanan darah saya 200 sistolik dan 100 diastolik. ”Ini gawat. Ganti obat yang dipakai dan kembali satu minggu lagi,” katanya.
Pada pemeriksaan berikut tekanan darah mencatat 140/70. Saya dibolehkan pergi ke Negeri Belanda.
Namun, anak saya, dr Ela dan dr Robby, ingin mengawal dan menjaga saya, maka mereka ikut dalam perjalanan napak tilas wartawan KMB 1949.
Tiba di Schiphol
Setibanya di Bandara Schiphol, Minggu (20/12) pagi, Duta Besar RI pada Kerajaan Belanda Junus Effendi (Fanny) Habibie beserta sejumlah staf menyambut kedatangan kami. Kepala Redaksi Indonesia NRW Sirtjo Koolhof juga ada.
Di Bandara Kuala Lumpur dan di Schiphol saya kesulitan mendapat kereta roda untuk pengangkutan. Jarak cukup jauh. Kesehatan saya tak terlalu prima untuk berjalan kaki. Untung lewat pengemudi sebuah kereta golf dan saya diangkutnya. Munir dari protokol KBRI menunggu kami.
Dubes Fanny Habibie (72), yang khusus pada pagi buta dan suhu 10 derajat di bawah nol karena begitu care terhadap saya, datang ke Bandara Schiphol. Stafnya membawa sebuah mantel tebal untuk saya. Musim dingin tahun 2009 memang luar biasa. Saya dibawa ke mobil Pak Dubes. Waduh, di luar terminal bukan main dinginnya. Tubuh diterpa oleh angin kencang, muka serasa disayat-sayat sembilu. Sejak 1984 Nederland tidak lagi mengalami turunnya salju terhampar indah. Ela dan Robby tampak senang melihat salju pertama kali dalam hidup mereka. Bagi saya ini adalah untuk kedua kali.
Sensasi pertama saya alami di kampus North Western Reserve University di Michigan, Februari 1950, pasca-KMB. Atas beasiswa dari Rockefeller Foundation saya belajar ilmu dramaturgi di Amerika dan menonton tonil di Broadway, New York.
Dengan sepatu dibalut oleh boots dari karet, saya merancah tumpukan salju tebal di lapangan olahraga menuju gedung universitas. Pada hari itu pula saya baca di harian The New York Times sebuah berita kecil bahwa Panglima Besar Djenderal Sudirman tutup usia di Magelang. Jenderal Sudirman (1916-1950) setelah pecah aksi militer Belanda kedua, 19 Desember 1948, dan para pemimpin RI, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, ditawan telah keluar dari Yogya memimpin perang gerilya melawan tentara Belanda.
Saya kenang lagi tanggal 8 Juli 1949 di Desa Krejo, Kecamatan Ponjong, daerah Gunung Kendeng, saya dan Letkol Soeharto (kelak jadi Presiden) bertemu dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta dan dengan demikian meratakan jalan ke arah dimulainya KMB di Den Haag.
Kami menginap di Wisma Duta di Wassenaar. Dalam perjalanan ke sana saya tanya kepada Fanny Habibie yang sudah tiga tahun bertugas di Negeri Belanda bagaimana hubungan politik antara Belanda dan Indonesia dewasa ini.
Acara NIOD batal
Acara pertama yang dijadwalkan adalah kunjungan ke Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (Lembaga Belanda untuk Dokumen Peperangan/NIOD) di Amsterdam. Kunjungan ialah untuk melihat dokumentasi yang disimpan di sana. Ada kliping dari sebuah artikel saya yang dimuat dalam majalah Minggoean Merdeka pimpinan Herawati Diah, tanggal 17 Mei 1946, berjudul ”Ditempat koekoe handak mentjekam. Radio Indonesia di Djakarta. Tetap setia melakoekan kewadjiban masjarakat”.
Kunjungan itu juga untuk bertemu dengan penulis Marije Plomp yang bekerja di NIOD. Pada awal Januari 2009 dia datang ke rumah saya untuk mencari bahan keterangan mengenai Piet de Queljoe, pegawai Kementerian Penerangan/Kepala Percetakan Negara tahun 1955, dan mengenai Frans Goedhart dari surat kabar Het Parool yang sebagai wartawan Belanda pertama menghadiri perayaan HUT Proklamasi 17 Agustus 1945 di Yogya, 17 Agustus 1946 di Gedung Negara.
Akan tetapi, acara kunjungan ke NIOD di Amsterdam gagal. Sebab, badai salju, Senin, 21 Desember, telah menghalangi orang leluasa bepergian, pegawai tidak bisa masuk kantor, kereta api dan trem macet total.
Alih-alih kami berempat, saya, Rusjdi, Ela, dan Robby, pergi ke Scheveningen mengunjungi Hotel Kurhaus. Waktu KMB ini merupakan tempat delegasi Indonesia menginap dan bekerja.
Saya berangkat dari Jakarta dengan pesawat Skymaster dari KLM pada 15 Agustus 1949 dan tiba di Schiphol tanggal 17 Agustus. Langsung saya ke Kurhaus.
PM Hatta menyelenggarakan perayaan HUT keempat proklamasi. Di resepsi itu saya lihat Sultan Hamid dari Pontianak, Anak Agung Gde Agung, PM Negara Indonesia Timur. Mereka tokoh-tokoh BFO. Di antara tamu-tamu terdapat orang Belanda dari kalangan politisi dan pegawai pemerintah.
Mari saya bercerita sedikit tentang Hotel Kurhaus yang mengandung sepotong sejarah Eropa yang menarik. Asal mulanya ialah pada 1818 Jacob Pronk membangun sebuah tempat pemandian terbuat dari kayu. Orang masuk ke dalam tong-tong untuk mandi dalam air laut yang dipercaya punya daya menyembuhkan penyakit. Tahun 1885 tempat itu menjelma sebagai Kurhaus, artinya rumah pengobatan yang pertama, terdiri atas sebuah bangsal untuk konser musik, 120 kamar, 2 restoran.
Dari tahun 1927 hingga tahun 1960-an Kurhaus menjadi pusat musik internasional. Tokoh-tokoh selebriti memberikan pertunjukan. Tercatat nama-nama seperti Maurice Chavalier, Duke Ellington, Edith Piaf, Maria Callas, dan Marlene Dietrich. Terakhir The Rolling Stones tahun 1965 untuk pertama kali memberikan pertunjukan di Eropa.
Banyak kepala negara dan kalangan raja menginap di Kurhaus, seperti Carola, ratu dari Sachsen; Irene, putri dari Prussia; Presiden AS Harry Truman; PM Inggris Winston Churchil; Presiden Perancis Caty; dan Kaisar Jepang Hirohito.
Tahun 1969 Kurhaus ditutup dan setelah direnovasi dibuka kembali tahun 1979, lengkap dengan Casino Scheveningen. Banyak konferensi internasional telah berlangsung di Kurhaus. Namun, KMB tidak disebut sama sekali dalam buku tamu. Ketika mengunjungi Kurhaus, 60 tahun setelah KMB, saya dapatkan banyak perubahan dalam interiornya.
Saya naik dengan lift ke tingkat atas untuk melihat hasil renovasi. Saya memandang ke Noordzee yang pada musim dingin bergolak ombaknya. Saya ingat pada musim panas 1949 pergi ke pantai sesudah matahari silam bersama penyair Ed Hoornik dan pengarang Mies Bouwhuis. Zuraida Rosihan rada kaget melihat Ed Hoornik, si bule berbadan tinggi besar, dengan kalem membuka pakaiannya di pinggir laut.
Tatkala meninggalkan Kurhaus saya ngomong dengan seorang karyawati masih muda. Saya bilang, waktu 60 tahun yang silam diselenggarakan KMB atau RTC sebagai wartawan saya sering berada di Kurhaus. Tahukah Anda apa RTC itu? Tampaknya dia tidak paham. Pengetahuan umum generasi muda Belanda mengenai apa yang terjadi di negerinya mungkin tidak banyak. So much for history!
Agenda yang dilaksanakan ialah perekaman audiovisual di Ridderzaal Den Haag, 23 Desember, serta siaran live dan interaktif dengan pendengar di Studio NRW di Hilversum, 28 Desember, di mana saya sendiri dalam jam pertama diwawancarai dan di jam kedua diikutsertakan narasumber Dr Rusjdi Hussein dan wakil Dubes Umar Hadi.
Berbagai topik dibicarakan dalam perekaman video dan dalam siaran radio live, dari cerita human interest hingga politik aktual. Marilah saya sebutkan beberapa contoh, disajikan dengan kiat journalism-in-capsule-form (meminjam istilah The New York Times).
Bagaimana jalannya KMB?
Tiga delegasi yang berunding, Belanda, Republik Indonesia, golongan Federal yang dihimpun dalam Bijzonder Federaal Overleg (BFO). Dalam praktik Republik dan BFO menyatu bila menghadapi Belanda. Beberapa Komisi dibentuk: Komisi Politik, di sana Hatta dominan; Ekonomi, di sana Dr Sumitro Djojohadikusumo menyangkal kebenaran angka-angka utang yang diajukan Belanda; Komisi Pertahanan, di mana Republik diwakili oleh Dr J Leimena dan Kolonel TB Simatupang; serta Komisi Kebudayaan, di mana Mr Ali Sastroamijoyo berperan.
Bagaimana hasilnya KMB?
Belanda tidak bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Penyelesaiannya ditangguhkan untuk masa satu tahun. Tidak memuaskan. RIS harus mengoper utang Belanda yang telah dibuatnya untuk memerangi RI sejumlah 4.100 juta gulden, sedangkan menurut hitungan Dr Sumitro justru Belanda yang berutang kepada Indonesia lebih dari 500 juta gulden. Tidak memuaskan.
Di bidang pertahanan, Belanda mau membikin tentara KNIL sebagai intisari tentara RIS. Ini ditolak tegas oleh Leimena dan Simatupang, dan Belanda setuju TNI sebagai kekuatan pokok tentara RIS. Ini memuaskan. Jadi dalam hasil KMB ada plusnya dan minusnya.
Poin perbedaan
Bagaimana dengan poin perbedaan, di satu pihak penyerahan kedaulatan (souvereiniteits overdracht), di lain pihak pengakuan kemerdekaan (vrijheids arkenning)?
Belanda tidak mau mengakui proklamasi 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Belanda hanya mengakui penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 sebagai bermulanya negara merdeka berdaulat berbentuk federal, yaitu RIS.
Belanda mempunyai pola pikir legalistik. Dia menganggap secara hukum internasional masih heer en meester (tuan dan penguasa) atas Hindia Belanda. Tapi, sikap Indonesia ialah Soekarno-Hatta sudah memproklamasikan atas nama bangsa Indonesia kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Maka soalnya telah selesai. Saya tegaskan dalam bahasa Perancis: Soit. Fini. Dat is het (Demikian adanya. Selesai. Itulah adanya).
Dalam siaran radio live, 28 Desember, yang dipandu oleh Yanti Mualim dan Jean van de Kok masuk 24 SMS dari pendengar dengan pertanyaan dan komentar dari berbagai kota dan daerah di Indonesia. Ada satu setengah juta pendengar Radio Hilversum di Indonesia.
Kebanggaan Bung Hatta
Mengapa Bung Hatta yang menerima penyerahan kedaulatan dalam upacara di Istana di Amsterdam tanggal 17 Desember 1949?
Karena secara formal Bung Hatta selaku Wapres dan PM yang memimpin delegasi Indonesia dalam KMB. Bung Karno menganggap kita sudah merdeka, buat apa itu penyerahan kedaulatan? Untuk tambahan informasi bagi para pendengar, saya bercerita pernah bertanya kepada Hatta apakah yang penting dalam hidupnya, apa highlights kariernya? Bung Hatta menjawab dua hal.
”Pertama, saya ko-proklamator kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kedua, saya yang menerima penyerahan kedaulatan”. Hatta dalam pidato sambutannya pada upacara penyerahan kedaulatan dengan nada bangga dan suara nyaring menegaskan, ”Rakyat Indonesia sudah merasa lega dengan lenyapnya kolonialisme di Indonesia dan dengan susunan hukum baru berdasarkan Pancasila.”
Mengapa Pemerintah Belanda tidak mengakui proklamasi 17 Agustus 1945?
Saya belum sempat memasuki otak orang-orang Belanda itu. Berspekulasi di sini tidak baik. Cukuplah jawaban ini.
Dalam pada itu tidak tersedia waktu bagi saya untuk menyampaikan fakta bahwa PM Belanda JP Balkenende telah mengakui Proklamasi Kemerdekaan kita, 17 Agustus 1945, dan Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot menghadiri perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka pada 2005.
Bot, yang lahir di Jakarta masuk kamp interniran pada zaman Jepang, berani datang ke Jakarta dan dengan melawan sikap kaum veteran Belanda yang berperang di Indonesia telah memberitahukan kepada Indonesia bahwa Negeri Belanda pada saat aksi polisionil telah berdiri aan de verkeerdekant van de geschiedenis (di tempat yang keliru dari sejarah).
Sebagaimana dimaklumi akibat tekanan kaum veteran Belanda, Ratu Beatrix pada 1995 tidaklah menghadiri perayaan HUT ke-50 proklamasi kemerdekaan, tapi tiba di Jakarta beberapa hari kemudian. Tot ergenis van de Indonesiers (menyebalkan orang-orang Indonesia), demikian tulis sebuah majalah Belanda.
Mengapa Indonesia yang sudah merdeka ikut dalam KMB? Realitasnya ialah kita masih berhadapan dengan Belanda.
Rusjdi Hussein menambahkan dengan uraian sejarah sebelum KMB, tentang Perundingan Hoge Valuwe awal 1946, tentang Perundingan Linggarjati pada November 1946.
Saya utarakan pula sikap realistis PM Sutan Sjahrir. Dia menilai, tentara Indonesia tidak setara dengan tentara Belanda yang modern persenjataannya. Dia tidak setuju dengan usul Ho Chi Minh agar Indonesia dan Vietnam bersama-sama melawan kolonialisme-imperialisme sebagaimana termaktub dalam surat Ho Chi Minh kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Surat itu dibawa oleh wartawan Newsweek Amerika, Harold Isaacs, ke Jakarta awal 1946. Bagi Sjahrir, menerima usul Ho Chi Minh itu berarti menambah musuh. Cukuplah satu saja, yaitu Belanda. Berlarut-larutnya perang di Vietnam melawan Perancis dan kemudian Amerika telah meminta korban jutaan orang Vietnam.
Sjahrir yang realistis mau mencegah keadaan itu di Indonesia. Strateginya ialah politik diplomasi berbareng dengan perjuangan bersenjata.
Bagaimana pendapat Anda tentang petisi sejumlah intelektual Belanda yang kini mendesak pemerintahnya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia yang dimulai 17 Agustus 1945?
Silakan saja. Yang penting kita bekerja sama ke masa datang.
H Rosihan Anwar, Wartawan Senior
Sumber: Kompas, Senin, 25 Januari 2010