Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus 1949, antara lain memutuskan, sebagai imbalan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, pihak Belanda mendapat bayaran sebesar 4,5 miliar gulden dari pihak Indonesia. Menurut sejarawan Lambert Giebels, sebelumnya Belanda menuntut imbalan sekitar 6,5 miliar gulden. (IPPHOS)






Dalam kaitan memperingati 60 tahun Konferensi Meja Bundar (KMB)—23 Agustus-2 November 1949—dan penyerahan kedaulatan—27 Desember 1949—Radio Nederland Wereldomroep (NRW) mengundang wartawan dari Indonesia yang meliput KMB 60 tahun lalu untuk berbagi pengalaman. Dari sekitar 12 wartawan yang kala itu meliput, tinggal tiga orang yang masih hidup, satu di antaranya Rosihan Anwar. Wartawan senior sekaligus pelaku sejarah itu menuliskan hasil perjalanannya selama sepekan di Nederland bulan Desember lalu di halaman ini dan halaman 35. Redaksi

Action....!

Saya mulai berjalan didampingi Febriyanti Sukmana di Ridderzaal Twede Kamer, parlemen Belanda, Binnenhof Den Haag, 23 Desember 2009 siang. Saya berucap, ”Di sini 60 tahun yang lalu berlangsung upacara pembukaan resmi Konferensi Meja Bundar, Ronde Tafel Conferentie, 23 Agustus 1949 untuk mewujudkan penyerahan kedaulatan (souvereiniteits overdracht) dari Kerajaan Belanda kepada negara federal Republik Indonesia Serikat.”


Seraya kami lewat di depan kursi tempat Ratu Beatrix mengucapkan Troonrede, pidato mahkota, juru kamera Junito Drias melakukan pengambilan gambar. Berkali-kali saya dimintanya mengulang gerak serupa guna memperoleh shots dari sudut jarak jauh hingga dekat, memfokus pada tongkat saya berkepala naga dan kepada jari-jari yang memegangnya.

Karena pengalaman sebagai aktor pemeran pembantu dalam film cerita, mulai dari Darah dan Doa (1950) arahan sutradara Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional, hingga film Tjoet Nja Dien (1985), disutradarai Erros Djarot serta dibintangi Christine Hakim dan Slamet Raharjo—karena terbiasa mendengar perintah sutradara action dan cut—saya selesaikan apa yang harus di-acting-kan. Lama-lama kesal juga dan saya bergumam, ”Gue nih lagi dikerjain.”

Adegan berpindah. Saya duduk diwawancarai oleh Febriyanti dari Radio Hilversum, dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Belanda. Kemudian penyiar Yanti Mualim menyusul dengan wawancara berikut. Dalam ruangan Ridderzaal yang kosong itu, dengan lantai dihampari karpet berwarna jingga, hadir tiga orang yang turut bersama saya dari Jakarta, yaitu sejarawan Dr Rusjdi Hussein, putri bungsu saya, dr Naila Karim, SpM (Ela), dan suaminya, dr Roberth J Pattiselanno (Robby).

”Gawe” NRW

Apa pasal dengan kunjungan ke Negeri Belanda itu?

Radio Nederland Wereldomroep (NRW) punya gawe, yaitu memperingati tepat 60 tahun penyelenggaraan KMB (23 Agustus-2 November 1949) dan peristiwa penyerahan kedaulatan (27 Desember 1949). Maka, dicarinya wartawan-wartawan dari Indonesia yang meliput KMB untuk diundang ke Nederland, lalu bercerita mengenai pengalaman mereka. Ternyata wartawan KMB yang masih hidup adalah diri saya.

Saya coba mengenang dan mudah-mudahan memori ini masih kuat untuk tidak melakukan kesalahan fatal, maklum 60 tahun telah berlalu dan ambang pintu kepikunan sudah ada di depan.

Adapun wartawan yang meliput KMB adalah BM Diah dan istrinya, Herawati (harian Merdeka, Jakarta); Adinegoro dan istri (majalah Mimbar Indonesia, Jakarta); Wonohito (Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta); Sukrisno (Antara, Yogyakarta); Mohammad Said (Waspada, Medan); Kwee Kek Beng (Sin Po, Jakarta); Ir Pohan (majalah Spektra, Jakarta); RM Sutarto (Berita Film, Indonesia); EU Pupella (Ambon); serta Rosihan Anwar dan istrinya, Zuraida (Pedoman, Jakarta).

Teman-teman sejawat tadi telah meninggal dunia. Yang masih hidup tinggal Herawati Diah (92), Rosihan Anwar (87), dan Zuraida R Anwar (86).

Saya terima undangan Radio Hilversum siaran bahasa Indonesia yang disampaikan oleh wartawannya, Jean van de Kok, di kediaman saya, dengan catatan agar saya didampingi oleh Dr Rusjdi Hussein yang semula adalah dokter medicus lulusan Universitas Indonesia dan menjelang masa pensiun mengikuti kuliah sejarah, lalu berhasil meraih gelar S-3 dengan disertasi tentang Perundingan Linggarjati (November 1946).

Putri sulung saya, dr Aida Fathya Darwis (Nonny), bersitekan agar terlebih dahulu saya check-up kepada dr Handoko Gunawan, Sp PP dan DR Idrus Alwi, Sp JP di Rumah Sakit MMC.

Sudah dua tahun saya tidak memeriksakan kesehatan kepada dr Handoko, ahli paru-paru. Dia menyimpulkan, ”Kondisi lumayan, boleh berangkat.”

Lain halnya dengan DR Idrus. Waktu ditensi, ternyata tekanan darah saya 200 sistolik dan 100 diastolik. ”Ini gawat. Ganti obat yang dipakai dan kembali satu minggu lagi,” katanya.

Pada pemeriksaan berikut tekanan darah mencatat 140/70. Saya dibolehkan pergi ke Negeri Belanda.

Namun, anak saya, dr Ela dan dr Robby, ingin mengawal dan menjaga saya, maka mereka ikut dalam perjalanan napak tilas wartawan KMB 1949.

Tiba di Schiphol

Setibanya di Bandara Schiphol, Minggu (20/12) pagi, Duta Besar RI pada Kerajaan Belanda Junus Effendi (Fanny) Habibie beserta sejumlah staf menyambut kedatangan kami. Kepala Redaksi Indonesia NRW Sirtjo Koolhof juga ada.

Di Bandara Kuala Lumpur dan di Schiphol saya kesulitan mendapat kereta roda untuk pengangkutan. Jarak cukup jauh. Kesehatan saya tak terlalu prima untuk berjalan kaki. Untung lewat pengemudi sebuah kereta golf dan saya diangkutnya. Munir dari protokol KBRI menunggu kami.

Dubes Fanny Habibie (72), yang khusus pada pagi buta dan suhu 10 derajat di bawah nol karena begitu care terhadap saya, datang ke Bandara Schiphol. Stafnya membawa sebuah mantel tebal untuk saya. Musim dingin tahun 2009 memang luar biasa. Saya dibawa ke mobil Pak Dubes. Waduh, di luar terminal bukan main dinginnya. Tubuh diterpa oleh angin kencang, muka serasa disayat-sayat sembilu. Sejak 1984 Nederland tidak lagi mengalami turunnya salju terhampar indah. Ela dan Robby tampak senang melihat salju pertama kali dalam hidup mereka. Bagi saya ini adalah untuk kedua kali.

Sensasi pertama saya alami di kampus North Western Reserve University di Michigan, Februari 1950, pasca-KMB. Atas beasiswa dari Rockefeller Foundation saya belajar ilmu dramaturgi di Amerika dan menonton tonil di Broadway, New York.

Dengan sepatu dibalut oleh boots dari karet, saya merancah tumpukan salju tebal di lapangan olahraga menuju gedung universitas. Pada hari itu pula saya baca di harian The New York Times sebuah berita kecil bahwa Panglima Besar Djenderal Sudirman tutup usia di Magelang. Jenderal Sudirman (1916-1950) setelah pecah aksi militer Belanda kedua, 19 Desember 1948, dan para pemimpin RI, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, ditawan telah keluar dari Yogya memimpin perang gerilya melawan tentara Belanda.

Saya kenang lagi tanggal 8 Juli 1949 di Desa Krejo, Kecamatan Ponjong, daerah Gunung Kendeng, saya dan Letkol Soeharto (kelak jadi Presiden) bertemu dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta dan dengan demikian meratakan jalan ke arah dimulainya KMB di Den Haag.

Kami menginap di Wisma Duta di Wassenaar. Dalam perjalanan ke sana saya tanya kepada Fanny Habibie yang sudah tiga tahun bertugas di Negeri Belanda bagaimana hubungan politik antara Belanda dan Indonesia dewasa ini.

Acara NIOD batal

Acara pertama yang dijadwalkan adalah kunjungan ke Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (Lembaga Belanda untuk Dokumen Peperangan/NIOD) di Amsterdam. Kunjungan ialah untuk melihat dokumentasi yang disimpan di sana. Ada kliping dari sebuah artikel saya yang dimuat dalam majalah Minggoean Merdeka pimpinan Herawati Diah, tanggal 17 Mei 1946, berjudul ”Ditempat koekoe handak mentjekam. Radio Indonesia di Djakarta. Tetap setia melakoekan kewadjiban masjarakat”.

Kunjungan itu juga untuk bertemu dengan penulis Marije Plomp yang bekerja di NIOD. Pada awal Januari 2009 dia datang ke rumah saya untuk mencari bahan keterangan mengenai Piet de Queljoe, pegawai Kementerian Penerangan/Kepala Percetakan Negara tahun 1955, dan mengenai Frans Goedhart dari surat kabar Het Parool yang sebagai wartawan Belanda pertama menghadiri perayaan HUT Proklamasi 17 Agustus 1945 di Yogya, 17 Agustus 1946 di Gedung Negara.

Akan tetapi, acara kunjungan ke NIOD di Amsterdam gagal. Sebab, badai salju, Senin, 21 Desember, telah menghalangi orang leluasa bepergian, pegawai tidak bisa masuk kantor, kereta api dan trem macet total.

Alih-alih kami berempat, saya, Rusjdi, Ela, dan Robby, pergi ke Scheveningen mengunjungi Hotel Kurhaus. Waktu KMB ini merupakan tempat delegasi Indonesia menginap dan bekerja.

Saya berangkat dari Jakarta dengan pesawat Skymaster dari KLM pada 15 Agustus 1949 dan tiba di Schiphol tanggal 17 Agustus. Langsung saya ke Kurhaus.

PM Hatta menyelenggarakan perayaan HUT keempat proklamasi. Di resepsi itu saya lihat Sultan Hamid dari Pontianak, Anak Agung Gde Agung, PM Negara Indonesia Timur. Mereka tokoh-tokoh BFO. Di antara tamu-tamu terdapat orang Belanda dari kalangan politisi dan pegawai pemerintah.

Mari saya bercerita sedikit tentang Hotel Kurhaus yang mengandung sepotong sejarah Eropa yang menarik. Asal mulanya ialah pada 1818 Jacob Pronk membangun sebuah tempat pemandian terbuat dari kayu. Orang masuk ke dalam tong-tong untuk mandi dalam air laut yang dipercaya punya daya menyembuhkan penyakit. Tahun 1885 tempat itu menjelma sebagai Kurhaus, artinya rumah pengobatan yang pertama, terdiri atas sebuah bangsal untuk konser musik, 120 kamar, 2 restoran.

Dari tahun 1927 hingga tahun 1960-an Kurhaus menjadi pusat musik internasional. Tokoh-tokoh selebriti memberikan pertunjukan. Tercatat nama-nama seperti Maurice Chavalier, Duke Ellington, Edith Piaf, Maria Callas, dan Marlene Dietrich. Terakhir The Rolling Stones tahun 1965 untuk pertama kali memberikan pertunjukan di Eropa.

Banyak kepala negara dan kalangan raja menginap di Kurhaus, seperti Carola, ratu dari Sachsen; Irene, putri dari Prussia; Presiden AS Harry Truman; PM Inggris Winston Churchil; Presiden Perancis Caty; dan Kaisar Jepang Hirohito.

Tahun 1969 Kurhaus ditutup dan setelah direnovasi dibuka kembali tahun 1979, lengkap dengan Casino Scheveningen. Banyak konferensi internasional telah berlangsung di Kurhaus. Namun, KMB tidak disebut sama sekali dalam buku tamu. Ketika mengunjungi Kurhaus, 60 tahun setelah KMB, saya dapatkan banyak perubahan dalam interiornya.

Saya naik dengan lift ke tingkat atas untuk melihat hasil renovasi. Saya memandang ke Noordzee yang pada musim dingin bergolak ombaknya. Saya ingat pada musim panas 1949 pergi ke pantai sesudah matahari silam bersama penyair Ed Hoornik dan pengarang Mies Bouwhuis. Zuraida Rosihan rada kaget melihat Ed Hoornik, si bule berbadan tinggi besar, dengan kalem membuka pakaiannya di pinggir laut.

Tatkala meninggalkan Kurhaus saya ngomong dengan seorang karyawati masih muda. Saya bilang, waktu 60 tahun yang silam diselenggarakan KMB atau RTC sebagai wartawan saya sering berada di Kurhaus. Tahukah Anda apa RTC itu? Tampaknya dia tidak paham. Pengetahuan umum generasi muda Belanda mengenai apa yang terjadi di negerinya mungkin tidak banyak. So much for history!

Agenda yang dilaksanakan ialah perekaman audiovisual di Ridderzaal Den Haag, 23 Desember, serta siaran live dan interaktif dengan pendengar di Studio NRW di Hilversum, 28 Desember, di mana saya sendiri dalam jam pertama diwawancarai dan di jam kedua diikutsertakan narasumber Dr Rusjdi Hussein dan wakil Dubes Umar Hadi.

Berbagai topik dibicarakan dalam perekaman video dan dalam siaran radio live, dari cerita human interest hingga politik aktual. Marilah saya sebutkan beberapa contoh, disajikan dengan kiat journalism-in-capsule-form (meminjam istilah The New York Times).

Bagaimana jalannya KMB?

Tiga delegasi yang berunding, Belanda, Republik Indonesia, golongan Federal yang dihimpun dalam Bijzonder Federaal Overleg (BFO). Dalam praktik Republik dan BFO menyatu bila menghadapi Belanda. Beberapa Komisi dibentuk: Komisi Politik, di sana Hatta dominan; Ekonomi, di sana Dr Sumitro Djojohadikusumo menyangkal kebenaran angka-angka utang yang diajukan Belanda; Komisi Pertahanan, di mana Republik diwakili oleh Dr J Leimena dan Kolonel TB Simatupang; serta Komisi Kebudayaan, di mana Mr Ali Sastroamijoyo berperan.

Bagaimana hasilnya KMB?

Belanda tidak bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Penyelesaiannya ditangguhkan untuk masa satu tahun. Tidak memuaskan. RIS harus mengoper utang Belanda yang telah dibuatnya untuk memerangi RI sejumlah 4.100 juta gulden, sedangkan menurut hitungan Dr Sumitro justru Belanda yang berutang kepada Indonesia lebih dari 500 juta gulden. Tidak memuaskan.

Di bidang pertahanan, Belanda mau membikin tentara KNIL sebagai intisari tentara RIS. Ini ditolak tegas oleh Leimena dan Simatupang, dan Belanda setuju TNI sebagai kekuatan pokok tentara RIS. Ini memuaskan. Jadi dalam hasil KMB ada plusnya dan minusnya.

Poin perbedaan

Bagaimana dengan poin perbedaan, di satu pihak penyerahan kedaulatan (souvereiniteits overdracht), di lain pihak pengakuan kemerdekaan (vrijheids arkenning)?

Belanda tidak mau mengakui proklamasi 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Belanda hanya mengakui penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 sebagai bermulanya negara merdeka berdaulat berbentuk federal, yaitu RIS.

Belanda mempunyai pola pikir legalistik. Dia menganggap secara hukum internasional masih heer en meester (tuan dan penguasa) atas Hindia Belanda. Tapi, sikap Indonesia ialah Soekarno-Hatta sudah memproklamasikan atas nama bangsa Indonesia kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Maka soalnya telah selesai. Saya tegaskan dalam bahasa Perancis: Soit. Fini. Dat is het (Demikian adanya. Selesai. Itulah adanya).

Dalam siaran radio live, 28 Desember, yang dipandu oleh Yanti Mualim dan Jean van de Kok masuk 24 SMS dari pendengar dengan pertanyaan dan komentar dari berbagai kota dan daerah di Indonesia. Ada satu setengah juta pendengar Radio Hilversum di Indonesia.

Kebanggaan Bung Hatta

Mengapa Bung Hatta yang menerima penyerahan kedaulatan dalam upacara di Istana di Amsterdam tanggal 17 Desember 1949?

Karena secara formal Bung Hatta selaku Wapres dan PM yang memimpin delegasi Indonesia dalam KMB. Bung Karno menganggap kita sudah merdeka, buat apa itu penyerahan kedaulatan? Untuk tambahan informasi bagi para pendengar, saya bercerita pernah bertanya kepada Hatta apakah yang penting dalam hidupnya, apa highlights kariernya? Bung Hatta menjawab dua hal.

”Pertama, saya ko-proklamator kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kedua, saya yang menerima penyerahan kedaulatan”. Hatta dalam pidato sambutannya pada upacara penyerahan kedaulatan dengan nada bangga dan suara nyaring menegaskan, ”Rakyat Indonesia sudah merasa lega dengan lenyapnya kolonialisme di Indonesia dan dengan susunan hukum baru berdasarkan Pancasila.”

Mengapa Pemerintah Belanda tidak mengakui proklamasi 17 Agustus 1945?

Saya belum sempat memasuki otak orang-orang Belanda itu. Berspekulasi di sini tidak baik. Cukuplah jawaban ini.

Dalam pada itu tidak tersedia waktu bagi saya untuk menyampaikan fakta bahwa PM Belanda JP Balkenende telah mengakui Proklamasi Kemerdekaan kita, 17 Agustus 1945, dan Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot menghadiri perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka pada 2005.

Bot, yang lahir di Jakarta masuk kamp interniran pada zaman Jepang, berani datang ke Jakarta dan dengan melawan sikap kaum veteran Belanda yang berperang di Indonesia telah memberitahukan kepada Indonesia bahwa Negeri Belanda pada saat aksi polisionil telah berdiri aan de verkeerdekant van de geschiedenis (di tempat yang keliru dari sejarah).

Sebagaimana dimaklumi akibat tekanan kaum veteran Belanda, Ratu Beatrix pada 1995 tidaklah menghadiri perayaan HUT ke-50 proklamasi kemerdekaan, tapi tiba di Jakarta beberapa hari kemudian. Tot ergenis van de Indonesiers (menyebalkan orang-orang Indonesia), demikian tulis sebuah majalah Belanda.

Mengapa Indonesia yang sudah merdeka ikut dalam KMB? Realitasnya ialah kita masih berhadapan dengan Belanda.

Rusjdi Hussein menambahkan dengan uraian sejarah sebelum KMB, tentang Perundingan Hoge Valuwe awal 1946, tentang Perundingan Linggarjati pada November 1946.

Saya utarakan pula sikap realistis PM Sutan Sjahrir. Dia menilai, tentara Indonesia tidak setara dengan tentara Belanda yang modern persenjataannya. Dia tidak setuju dengan usul Ho Chi Minh agar Indonesia dan Vietnam bersama-sama melawan kolonialisme-imperialisme sebagaimana termaktub dalam surat Ho Chi Minh kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Surat itu dibawa oleh wartawan Newsweek Amerika, Harold Isaacs, ke Jakarta awal 1946. Bagi Sjahrir, menerima usul Ho Chi Minh itu berarti menambah musuh. Cukuplah satu saja, yaitu Belanda. Berlarut-larutnya perang di Vietnam melawan Perancis dan kemudian Amerika telah meminta korban jutaan orang Vietnam.

Sjahrir yang realistis mau mencegah keadaan itu di Indonesia. Strateginya ialah politik diplomasi berbareng dengan perjuangan bersenjata.

Bagaimana pendapat Anda tentang petisi sejumlah intelektual Belanda yang kini mendesak pemerintahnya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia yang dimulai 17 Agustus 1945?

Silakan saja. Yang penting kita bekerja sama ke masa datang.

H Rosihan Anwar, Wartawan Senior

Sumber: Kompas, Senin, 25 Januari 2010
READ MORE - Sebuah Tafereel Sejarah: Napak Tilas Wartawan KMB 1949 Pengantar
18.40

Kehidupan Suku Baduy

Diposting oleh Yorri Farli
''Orang Kanekes''' atau '''orang Baduy''' adalah suatu kelompok masyarakat adat [[orang SundaSunda]] di wilayah [[Kabupaten Lebak]], [[Banten]]. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti [[Belanda]] yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok [[Suku Badui (Arab)Arab Badawi]] yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai ''urang Kanekes'' atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti ''Urang Cibeo'' (Garna, 1993).

== Wilayah ==
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.

== Bahasa ==Bahasa yang mereka gunakan adalah [[Bahasa Sunda]] dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

== Asal-usul ==Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan [[Kerajaan Sunda]] yang sebelum keruntuhannya pada [[abad ke-16]] berpusat di [[Pakuan Pajajaran]] (sekitar [[Bogor]] sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat [[pulau Jawa]] ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

== Kepercayaan ==Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai [[Sunda Wiwitan]] berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang ([[animisme]]) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh [[agama Budha]], [[Hindu]], dan [[Islam]]. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
:''Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.''(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang [[pertanian]], bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan [[bajak]], tidak membuat [[terasering]], hanya menanam dengan [[tugal]], yaitu sepotong [[bambu]] yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah [[Arca Domas]], yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya ''puun'' yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya [[Islam]].


== Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes ==Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu ''tangtu'', ''panamping'', dan ''dangka'' (Permana, 2001). Kelompok ''tangtu'' adalah kelompok yang dikenal sebagai [[Baduy Dalam]], yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat ''panamping'' adalah mereka yang dikenal sebagai [[Baduy Luar]], yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

== Pemerintahan ==Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
[[Berkas:Struktur_pemerintahan_baduy.gif]]
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat ''kapuunan'' (kepuunan) dilaksanakan oleh ''jaro'', yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu ''jaro tangtu'', ''jaro dangka'', ''jaro tanggungan'', dan ''jaro pamarentah''. ''Jaro tangtu'' bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga ''tangtu'' dan berbagai macam urusan lainnya. ''Jaro dangka'' bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. ''Jaro dangka'' berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai ''jaro duabelas''. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai ''jaro tanggungan''. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh ''pangiwa'', ''carik'', dan ''kokolot lembur'' atau tetua kampung (Makmur, 2001).

== Mata pencaharian ==Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani [[budidaya padi lahan keringpadi huma]]. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti [[durian]] dan [[asam keranji]], serta [[madu]] hutan.

== Interaksi dengan masyarakat luar ==Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya [[Kesultanan Banten]] yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan ''[[seba]]'' ke [[Kesultanan Banten]] (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati [[Kabupaten Lebak]]. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
READ MORE - Kehidupan Suku Baduy
09.40

Ujung Kulon Aset Negara yang Berharga

Diposting oleh Yorri Farli
Pada hari itu selasa tanggal 12 mei 2009, saya beserta teman-teman rombongan mahasiswa jurnalistik angkatan 2006 Fisip Untirta dan para dosen berjumlah sekitar 35 orang melakukan perjalanan menuju Taman Nasional Ujung Kulon di daerah Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Cimanggu, Pandeglang, Banten.
Perjalanan menuju Taman Nasional Ujung Kulon menggunakan Bis kebanggaan mahasiswa Untirta dengan sopir Nur Alam atau yang biasa disapa ‘Mang Nur’ dan panitia juga membawa 3 orang yang dijadikan pemandu dari UKM Mapalaut Untirta, yang mana anak Mapalaut sudah akrab dengan medan yang berat.
Tepat pukul 10.00 WIB dari kampus Untirta Serang, saya berseta rombongan berangkat menuju Balai Taman Nasional Ujung Kulon di daerah Labuan untuk terlebih dahulu mendaftarkan diri agar dapat masuk kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. dimana sebelumnya saya dan rombongan diberikan sambutan kecil dan pelepasan dari ketua jurusan program studi ilmu komunikasi yaitu Ibu Rahmi Winangsih didepan Fakultas Fisip.
Sampai di Balai Taman Nasional Ujung Kulon, saya dan rombongan memasuki museum dan menyaksikan presentasi yang dilakukan oleh Pak Andre salah satu pegawai di Balai tersebut. Dengan memakan waktu 3 jam berangkat dari Serang rombongan beristirahat sejenak, makan siang dan menunaikan ibadah sholat dzuhur di Balai serta berfoto bersama dengan para dosen yaitu Pak Burhan, Pak Idi, dan Ibu Asri.
Target kedua perjalanan saya dan rombongan ialah Desa Taman Jaya. Desa tersebut merupakan salah satu pintu masuk Taman Nasional Ujung Kulon. Perjalanan memakan waktu sekitar 4 jam. Perjalanan menuju Desa Taman Jaya melewati Kecamatan Sumur, Cigeulis, dan Cigorondong dengan banyak kondisi jalan yang rusak, yang membuat bis menjadi miring ke kanan dan ke kiri, yang sebelumnya kami juga mendapatkan pemandangan tepi pantai panimbang yang cukup indah. Perjalanan juga melewati banyak beberapa rumah warga yang mana lambat laun semakin sedikit ketika akan memasuki Desa Taman Jaya.
Sebelum matahari tertidur, kami sampai di Resort pertama Legon Pakis tempat para polisi hutan berjaga. Malam ini kami bermalam dan tidur di teras luar beralasakan tikar dan benner yang memanjang bagaikan seperti barak pengungsian penduduk. Setelah antri mandi sore dan makan malam, obat anti nyamuk malaria dan lotion kami gunakan untuk mencegah dari serangan nyamuk yang berbahaya itu. Malam yang sunyi, celoteh-celoteh dan banyolan membuat malam menjadi santai, sahut-sahutan banyolan membuat semua teman tertawa. Malam semakin larut, kami semua pun tertidur dan berperang melawan nyamuk ditemani rembulan dan bintang yang menerangi tidur malam kami.
Pagi hari dengan udara yang cukup segar sehabis sarapan, kami pun berangkat menuju target kedua yaitu Resort Karang Ranjang. Hari itu Kang Dedi dan Kang Oman menjadi saudara kami untuk menemani perjalanan menuju Karang Ranjang. Jarak tempuh menuju Pos 2 dari Resort pertama sekitar 10 km. Rute perjalanan kami melewati persawan, desa, banyaknya pohon kelapa, hutan bakau dan hutan kayu. Medan yang relatif datar membuat perjalanan tidak terlalu sulit, walapun beban tas di ransel masih cukup berat.
Baru berjalan sekitar 3 km, kami sudah memasuki hutan dan melewati muara sungai yang airnya sedang pasang dengan kondisi jembatan yang sangat memprihatinkan. Satu-persatu dengan perlahan kami melewati jembatan dari bambu yang diikat dengan kawat. Sambil menunggu teman menyebrangi sungai, kami sempatkan untuk berfoto bersama setelah melalui jembatan tersebut.
Semua rombongan terkumpul setelah melewati jembatan yang cukup mengerikan. Perjalan kami lanjutkan melewati pesisir pantai dan dihalau banyak pohon tumbang dengan ditemani suara gemuruh ombak yang membuat hati mengucap Asma Allah.
Dengan melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, kami memutuskan untuk beristirahat di pesisir pantai sekitar 20 menit dan kami manfaatkan untuk mengisi tenaga untuk melajutkan perjalanan kembali. Perjalanan dengan jalan setapak memasuki hutan dan mulai menyempit kami lalui dengan sangat hati-hati, suara burung berkicau membuat perjalan menjadi santai.
Rintangan kedua kami lewati kembali dengan menyebrangi anak sungai dengan jembatan sebatang pohon yang cukup kuat dan melewati lumpur dengan kedalaman 3cm jika diinjakannya.
Dari Pos 1 Desa Taman Jaya saya dan teman-teman masih banyak yang menggunakan sandal, karena sebelumnya telah diberi tau Kang Dedi, bahwa perjalanan akan melewati air dan lumpur. Kemudian semua disyaratkan Kang Dedi agar memakai sepatu setelah menyebrangi anak sungai, karena jalan setapak ditengah hutan akan cukup mengganggu perjalanan. Dimana medan perjalanan akan cukup berat, seperti banyaknya pohon dan ranting yang tumbang dapat merobek kulit kaki jika tersandung, dan kami pun bertemu kembali dengan desiran ombak pantai yang cukup kencang.
Setelah berjalan menyisir pantai, kami benar-benar tidak akan berjalan kembali melewati pesisir pantai disebelah utara, karena kami akan masuk berjalan membelah hutan yang mencekam untuk menuju Pos 2 Karang Ranjang. Perjalanan didesak rasa takut dan santai tertanam dihati, karena jalur yang kami lalui juga dilintasi oleh Badak bercula. Rasa ingin dan takut bertemu Badak tertanam dipikiran. Tetapi selama perjalanan menuju Karang Ranjang, kami tidak bertemu dengan Badak, walaupun perasaan terobati ketika kami melintasi bekas jejak Badak yang sudah sekitar satu minggu.
Sekitar 4 km lagi menuju Karang Ranjang, kami memutuskan untuk beristirahat kembali dengan beralaskan dedaunan yang dipotong Kang Oman.
Kloter pertama, saya sampai di Resort Karang Ranjang dan langsung besandar memandang ombak besar pantai selatan yang berada tepat di depan teras Resort yang lumayan cukup bagus dan bersih untuk penginapan malam hari, dan rasa lelah pun menjadi terobati.
Mengganti pakaian yang kotor setelah melewati beberapa medan yang cukup menantang adrenalin, makan siang dan bermain di pantai ialah waktu yang pas.
Mandi di sumur air tawar yang cukup bersih, lalu memandang ke pantai dengan derasnya ombak yang mencekam dan menanti malam yang sunyi sepi.
Makan malam bersama-sama, dengan roti dan kopi susu menjadikan badan terasa lebih hangat dengan memandang kembali hutan gelap yang kosong di depan teras diterangi dengan terbanganya kunang-kunang yang menyala.
Malam semakin larut, kami pun tidur kembali dengan beralaskan tikar dan benner diruang tamu menggunakan lampu tempel. Malam cukup mencekam dengan turunya hujan dan bunyi ombak yang kencang dengan ditemani suara musik yang merdu membuat tidur terasa lebih rileks.
Pagi hari dengan udara yang cukup dingin dengan masih turunya hujan dari malam hari, membuat perjalanan pulang tertunda. Dan kami sempatkan berbincang-bincang santai dengan kepala Resort Pak Hermadi dan Pak Darian ahli Camera Trap. Tentunya ini akan dapat menambah pengetahuan saya tentang Taman Nasional Ujung Kulon.
Hujan reda, semua rombongan bergegas merapihkan barang-barang. Momen yang tidak boleh terlewatkan adalah dengan berfoto bersama. Dan kami beruntung dapat berbincang-bincang dipagi hari dan bermalam bersama dengan para petugas yang kebetulan sedang patroli.
Berpamitan dengan Kepala Resort dan petugas ialah suatu hal yang patut kita lakukan, kerena dengan keramahtamahan para petugas membuat kami menjadi segan dan sangat berterimakasih kepadanya.
Perjalanan pulang tepat pada pukul 10.00 WIB. Dan tidak lupa kami sempatkan bersama-sama untuk membaca doa terlebih dahulu.
Memasuki jalan setapak yang mulai licin akibat turunyanya hujan tadi malam membuat perjalanan pulang menjadi ekstra hati-hati. Jalan setapak yang licin lambat laun tergenangi oleh air hujan yang mencapai kedalaman 3-5cm, dan terpaksa sepatu yang saya gunakan harus menceburkan ke dalam genangan air.
Diperjalalan saya berpapasan serta bersalaman dengan mahasiswa dari UNAS Jakarta. Perjalanan pulang kami istirahat hanya 2 kali, ditengah hutan dan sebelum menyebrangi jembatan ke dua sambil bercanda gurau dengan para dosen dan memakan makanan kecil sambil mengumpulkan tenaga.
Menyebrangi jembatan pertama, kami bertemu dengan warga dan anak-anak sedang mencari kayu bakar dan sedang berenang di tepi sungai.
Satu-persatu saya dan rombongan menyebrangi jembatan, dan saya sempatkan untuk memfoto anak-anak dan Pak Burhan yang sedang hati-hati menyebrangi jembatan yang diikat dengan bambu tersebut.
Rasa lelah bercampur aduk ingin cepat sampai kembali menuju Pos 1 Desa Taman Jaya sudah ada dibenak. Istirahat, mandi, dan makan siang langsung saya lakukan ketika sampai pos 1 di Desa Taman Jaya.
Kembali menuju kampus tak lupa saya, teman-teman, Pak Idi dan Ibu Asri membeli cinderamata berupa ukiran patung Badak bercula satu yang di jual oleh Kang Dedi. Berpamitan kepada para polisi hutan tak lupa kami sempatkan dan mengucapakan terimakasih. Pulang dengan ekstra hati-hati karena akan melewati kembali banyak jalan yang rusak dan banyak tergenang air. Canda gurau serta teriakan teman-teman di dalam Bis membuat suasana menjadi ramai. Bis berhenti sejenak untuk minum kopi dan makan mie ayam di warung milik warga di daerah kecamatan Sumur, Pandeglang.
Di daerah kecamatan Sumur, Bis kami mengalami kerusakan kecil, sampai mogok beberapa kali, tetapi masih dapat berjalan walaupun tersendat-sendat sampai akhirnya benar-benar mogok di daerah Saketi, Pandeglang. Ternyata mesin Bis masuk air, kata Mang Nur. Satu-persatu, teman-teman turun Bis sampai menuju kampus tercinta.
Jalan-jalan ke Taman Nasional Ujung Kulon memang sangat menyenangkan, menantang adrenalin, dan tidak akan terlupakan dengan segala keindahan alamnya yang terpampang. Dan semua itu harus ditebus dengan perjuangan berat walupun saya dan rombongan tidak sampai pulau Peucang yang katanya sangat indah pemandanganya.
Esok hari, kami semua harus kembali menuju ke dunia nyata. Ke kampus, belajar seperti biasa, ke kantin, nongkrong bersama teman-teman yang memang terkadang menjenuhkan pikiran. Rutinitas di kota harus kembali dijalani demi menyambung hidup.
Selamat tinggal Ujung Kulon, selamat tinggal Badak bercula satu yang tidak saya jumpai. Mungin inilah perjalanan saya yang terakhir dan mudah-mudahan dapat kembali melanjutkan perjalanan ke tempatmu Badak bercula dan dapat berjumpa denganmu. (yorridjorkaef@yahoo.com)
READ MORE - Ujung Kulon Aset Negara yang Berharga
05.01

Handphone Middle End

Diposting oleh Yorri Farli

BenQ-Siemens C31:
Serba Perak Fiturnya Semarak

Meski kabar bubarnya BenQ-Siemens terus beredar, pihak vendor masih belum mengeluarkan keterangan apapun alias bungkam seribu bahasa. Nggak aneh kalau akhirnya banyak orang berspekulasi mengenai nasib vendor yang punya masalah finansial ini. Ada yang ngomong udah tutup, ada juga yang bilang BenQ-Siemens masih bertahan. Mana nih yang bener?

Well, sebenarnya BenQ-Siemens masih ada kok, belum pisah apalagi cerai (emangnya artis). Meski kebangkrutan telah melanda divisi BenQ-Siemens di Jerman (dulunya Siemens Mobile), BenQ sebagai induk perusahaan tetap menjalankan proses produksi di pabriknya yang lain. Label BenQ-Siemens sendiri masih jadi hak BenQ selama 5 tahun sejak mereka mengambil alih Siemens pada tahun 2005. Jadi produk BenQ bisa dikasih nama BenQ-Siemens sampai 2010.

Kayak hape yang satu ini nih, BenQ-Siemens C31. Hape yang sebenarnya asli buatan BenQ ini bakal segera meluncur ke pasar dengan menyasar kelas menengah. C31 menawarkan banyak hal menarik dalam kemasan harga terjangkau. Wah, apa tuuh?
Desain
BenQ style sangat terasa pada desain C31. Bentuknya yang kecil dan sedikit membulat membawa kesan ciri khas hape-hape BenQ yang punya desain dinamis. Eh iya, mobilers masih inget sama Show Off BenQ-Siemens E81 di Majalah HP nggak? Kalau inget pasti setuju deh kalau C31 ini punya kemiripan dengan E81, terutama dari sisi desain. Makanya banyak yang bilang C31 adalah versi murahnya E81.

Kalau dibandingin sama hape Siemens, C75 misalnya, C31 lebih enak dilihat. Apalagi warnanya itu bo, kinclong abis. Perpaduan warna chrome dan silver di tubuhnya membuat C31 tampil eye catching. Sayang tubuh C31 gampang kotor, terutama di bagian list dan layar. Jadinya kita mesti rajin-rajin ngelap kalau habis pegang hape, atau kalau mau ribet dikit pake sarung tangan aja biar hapenya bersih terus.
Fitur
BenQ-Siemens C31 adalah hape middle end yang mengandalkan fitur multimedia. Fitur imaging (layar dan kamera) dan entertainment (pemutar musik, video plus radio FM) jadi sajian utama untuk memikat mobilers. Pihak pabrikan juga menambahkan beberapa fitur menarik yang bisa kita gunakan dalam keseharian. Termasuk fitur untuk mendukung urusan kerja.

Memang fitur ini bukan seperti office applications di hape-hape pintar, secara wujudnya bukan document viewer. Fitur pendukung kerja yang ada di C31 adalah Personal Secretary. Di sini ada fasilitas Answer Machine yang bisa membantu kita di saat nggak bisa mengangkat panggilan telepon, misalnya pas lagi rapat.

Fungsinya mirip layanan mail box operator, tapi dengan fitur ini kita nggak perlu mengaktifkan layanan operator karena fitur ini murni aplikasi hape. So, charge yang dikenakan sama seperti panggilan biasa (yang kena charge si penelpon). Sip banget nih.
Kinerja
Meski bertubuh kecil, BenQ-Siemens C31 nggak ada masalah waktu digunakan. Misalnya tombol, walau letaknya dipadatkan dengan desain tumpuk, mobilers masih bisa menekan tombol itu satu persatu dengan nyaman. Paling asyik tombol navigasinya, dengan ukuran yang cukup gede, tombol ini bikin kita enak menelusuri menu hape.

Layar C31 bisa dibilang cukup ‘wah’ untuk ukuran hape menengah. Bayangin aja hape ini udah pake layar TFT 262 ribu warna dengan jumlah pixel 176 x 220 pixel. So pasti layar C31 mampu menampilkan warna-warna dengan jernih dan halus, apik deh. Tampilan foto, video dan games jadi asyik diliatin.

Kualitas layar ini dimanfaatkan oleh BenQ dengan membenamkan kamera 1,3 Mpix di C31. Resolusinya beneran 1,3 Megapixel lho, bukan rekayasa atau interpolated picture kayak di hape merk lain. Kualitas hasil jepretannya sendiri nggak mengecewakan, meski dalam proses penjpretan kita harus ekstra hati-hati. Secara kamera C31 rada sensi sama gerakan, gerak dikit aja gambar dijamin blur.

Sekarang kita beralih ke fitur pendendang musik milik C31. Membawa aplikasi music player bawaan vendor, C31 mampu memainkan lagu dengan format MP3 dan WMA. Keluaran suaranya bisa lewat speaker dan headset. Kualitasnya juga sip, baik di speaker hape atau headset. Kita juga bisa atur equalizer biar suara lagu bisa cocok dengan selera.

Agak disayangkan pemutar musik C31 nggak support multitasking. Jadi kita nggak bisa ngapa-ngapain kalau lagi dengerin musik, kecuali menatap kosong layar hape. Yang aneh, fitur radio C31 justru bisa multitasking dengan hanya menekan tombol back. Enak gini, baca SMS dari pacar sambil dengerin lagunya Krisdayanti…aaah.

Kelebihan lain yang dimiliki C31 adalah hadirnya slot kartu memori MicroSD. Menurut pihak vendor, pengguna bisa nambahin kartu memori sampai yang berukuran 2 GB. Kita nggak perlu pusing mindahin file ke kartu memori (apalagi sampai beli card reader), secara di paket pembelian udah disediain kabel USB. Kita tinggal set hape jadi mass storage, trus drag and drop deh. Gampil!

Sebagai hape dengan harga terjangkau, pihak pabrikan juga harus melakukan penyunatan fitur. Kalau melihat fitur-fitur yang ada, C31 nyaris sempurna sebagai hape multimedia kelas menengah ke atas. Tapi disunatnya fitur konektivitas seperti Bluetooth dan Infrared, membuat C31 tampil sebagai hape mid-low. Untung aja masih ada port USB jadi kita bisa mindah-midahin file dengan mudah.
Opini!
Dengan harga sekitar 1,4 sampai 1,5 jeti, C31 menawarkan fitur-fitur yang cukup lengkap. Dari layar 262 ribu warna, kamera 1,3 Mpix, slot memori dan pemutar musik bisa kita nikmati di C31. Secara keseluruhan hape ini punya kualitas bagus meski nasib pabrikannya masih terkatung-katung.

Sumber : www.handphone.co.id/review/detail.php?merek=BenQ-Siemens&tipe=C31 - 20k -
READ MORE - Handphone Middle End